Langsung ke konten utama

Analisis Putusan Mahmakah Agung Nomor 44 Tahun 2020 (Jokowi-Ma'ruf Batal?)



Analisi kasus dari sisi Filsafat Hukum

                Pada bagian awal yang harus kita ketahui terlebih dahulu ialah bagaimana standing atau posisi filsafat hukum dalam penerapan dan penegakan hukum  itu sendiri. Yakni bagaimana hakikat hukum dan dasar mengikat dari suatu penepatan hukum tersebut, lalu bagaimana kemunculan fenomena secara universal dan kemudian menselaraskan pada aliran hukum yang berlaku di Negara tersebut. Seperti di Indonesia yang dalam sedikit banyaknya mengarah kepada aliran positivism, bagaimana hukum itu harus berjalan secara substansinya.  Analisis dalam tinjauan filsafat hukum di tujukan guna sebagai petunjuk arah bagi aparat penegak hukum, layaknya sebuah kompas dalam penentuan arah kebijakan dan pengamalan hukum nantinya, dan selebihnya dalam teknisnya akan di atur dalam sisi ilmu hukum lainnya.

                Tujuan hukum terdapat tiga unsur yakni, kepastian hukum, keadilan hukum dan juga kemanfaatan. Ketiga unsur ini harus di perhatikan secara proporsional dan seimbang, akan tetapi dalam prakteknya tidak sedikit yang menjadi sebuah fenomena secara universal dalam penegakan hukum tersebut. Oleh sebab itu, fungsi filsafat hukum itu sendiri terletak bagaiman dasar-dasar hukum yang mengikat di dalamnya.

                Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 Tahun 2019, yang di kaitkan dan di terjemahkan oleh sebagian orang  dapat membatalkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf, dan berasumsi  berspekulasi untuk membuat Presidential election (pemerintahan transisi), dan juga Revoting atau pemilihan ulang. Dalam pemaknaan dan kaca mata faktual hukum yang terjadi ialah konteks putusan tersebut  tentang mengenai pembatalan norma pada pasal 3 ayat 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2019. Yaitu apabila pasangan Presiden dan Wakil Presiden hanya 2 calon harus tetap menggunakan korum wilayah di dalamnya, yakni minimal 20 persen dari Provinsi, di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tersebut tidak menggunakan itu dengan acuan Undang-undang Dasar pasal 6 a, kan tetapi penjelasan yang di paparkan oleh Prof Zainal arifin Mochtar bahwa rasiolegis dan sejarah dalam pasal tersebut yang di adopsi dari negara seperti Nigeria, realasi dan konteksnya untuk pasangan yang lebih dari tiga.

                Dalam fenomena hukum yang sedang berkembang saat ini bertebaran asumsi dan spekulasi bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut dapat menganulir dan membatalkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf, padahal keputusan Mahkamah Agung bersifat prospektif untuk kedepan dari mulai tanggal di tetapkan keputusan tersebut yakni pada tanggal 28 Oktober 2019, tidak berlaku surut atau bersifat retroaktif. Akan tetapi andaikan keputusan ini retroaktif maka kemenanga Jokowi-Ma’ruf juga tidak dapat di batalkan dikarenakan Jokowi-Ma’ruf memperoleh 55 persen suara dan juga memenuhi korum wilayah 21 Provinsi.

                Dalam hal ini keputusan Mahkamah Agung tersebut sedikit bertentangan dan tidak mengindahkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50 Tahun 2014, kemudian ada suatu keanehan yang terjadi pada putusan Mahkamah Agung dalam hal pertimbangan keputusan yang dilakukan, mengapa demikian kita melihat kembali bagaimanana proses keputusan teresebut, penggugat mengajukan gugatan tersebut di bulam Maret dan ketika di bulan Mei barulah di terima oleh Mahkamah Agung, dengan pertimbangan tidak boleh menolak perkara dan untuk keadilan yang subsatnsial. Dan dalam rentan waktu yang di langsungkan walau sejatinya putusan dan salinan dalam proses di Mahkamah Agung memakan waktu yang tidak sebentar, akan tetapi jarak antara waktu di putuskan yakni pada tanggal 28 Oktober 2019 dan di terbitkan salinan putusan pada laman Direktorat Jendral putusan Mahkamah Agung pada tanggal 20 Juni 2020. Dalam pasal 76 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 menentukan suatu daluarsa ketika putusan Komisi Pemilihan Umum untuk di ajukan ke Mahkamah atau lainnya dengan tempo waktu 30 hari setelah hari kerja, agar supaya tidak mudah di ganggu dalam prosesnya. Oleh sebab itu electoral justice yakni penegakan hukum yang ada pada Mahkamah Agung harus di perhatikan.

                Dalam fenomena ini ada suatu fakta hukum dari masalah ini, yakni bagaiman putusan Mahkamah Konstitusi yang di hadapkan pada putusan Mahkamah Agung, seperti halnya kita ketahui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah final and Binding, akhir dan mengikat. Dalam hal ini kedua mahkamah memutuskan dengan objek yang sama akan tetapi permasalahan yang berbeda, yakni tentang keterpilihan dan penentuan pemenang. Di dalam hukum tata Negara juga di kenal dengan istilah Persumption of Constitutional atau Persumption Of Legal, sesuatu yang belum ada hal yang bersandar pada konstisusi maka akan tetap berlaku dan berjalan.

                Maka dari itu titik dari fenomena ini adalah bagaimana soal waktu yang menjadi sebuah hak yang tidak dapat di remehkan dalam penegakan hukum, seperti yang penulis sampaikan di bagian awal, bagaiman ketiga unsur tujuan hukum dapat bersanding dan selaras dalan hal apapun, jika tidak maka akan terjadi fenomena yang membuat hukum menjadi bersifat ambiguitas, dan dari fenemona ini putusan Mahkamah Agung nantinya juga akan semakin memberatkan pada pemilihan umum pada tahun 2024 nantinya, dengan mensyartakan korum suara dan korum wilayah, hanya ada satu jalan dengan menitik beratkan pembuat undang-undang dengan menghapus presidential treshould, dan memberikan sandaran hukum untuk peilihan umum yang lex specialis bagi Komisi Pemilihan Umum agar tidak menimbulkan ambiguitas hukum itu sendiri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH "SEJARAH PERADILAN PADA MASA BANI ABBASIYAH"

MAKALAH SEJARAH PERADILAN ISLAM “Sejarah Peradilan Bani Abbasiyah” Di Sususn Oleh: Ilham Fakhrun Aulia (16210026) Dosen Pengampu: Erfaniah Zuhriah, S,Ag. M.H UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG FAKULTAS SYARIAH JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM 2016/2017 KATA PENGANTAR             Segala puji hanya milik Allah SWT, Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan Rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradilan islam. Dalam penyusunan tugas atau makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua maupun teman-teman, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat mampu memperluas pengetahuan mengenai Peradilan P

DEMOKRASI MANIPULASI

DEMOKRASI TOPENG MANIPULASI DI NEGERI INI Kita mengetahui bersama  kata ‘’DEMOKRASI” adalah sebuah kata yang tidak lagi asing di telinga kita, seakan kata demokrasi merupakan sebuah makanan pokok yang setiap harinya harus kita konsumsi.  Dari dahulu sampai sekarang ketika kita di tanyai tentang apa sih DEMOKRASI??, kita pasti menjawab “Demokrasi adalah dari rakyat Oleh rakyat Untuk rakyat”. Hidup Rakyat!!!. Eh ini mau demo atau apaan ya. Hehe. Sorry cuy khilaf, kita lanjut lagi ke yang atas. Kalau demokrasi di artikan dengan pemahaman yang lurus lurus aja ni berarti, semua rakyat  membuat hukum, memutuskan hukum, terus dia yang di hukum. Gitu ya? So pasti nggak dong . Kebanyakan di Negara yang menganut paham demokrasi menerapkan TRIAS POLITICA. Trias Politica bukan nama orang loh. Hehe akan tetapi  Trias Politica adalah system pemerintahan yang di dalam nya ada Legislatif, Eksekutif dan juga Yudikatif. Layaknya di Indonesia, Rakyat mempunyai  wakil di pemerintahan yakni DPR (D

Agama Dan Budaya

Agama Dan Budaya Dalam Pergumulan Sosial Pendahuluan             Keyakinan manusia yang mengarah kepada praktek mempersonifikasikan alam sebagai tuhan ( mitoligi alam ), mempersonifikasikan roh-roh leluhur sebagai tuhan ( animsme), maupun meyakini benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis( dinamisme ), tidaklah bisa dihindari lagi. Sekalipun dalam keyakinan mereka yang paling dalam tetap mengatakan bahwa perilaku ini tidaklah berarti politeisme atau sirik, karena adanya tuhan yang maha esa, bagi mereka tidaklah disangkal. Karena itu, manusia bisa saja menyembah benda-benda hidup, tumbuhan, berhala, tuhan yang ghaib, seorang manusia yang kudus, atau suatu karakter yang jahat. Manusia bisa saja menyembah yang mereka miliki, namun dalam batin mereka tetap mampu membedakan keyakinan-keyakinan religious itu dari yang bukan religious. Sebab dorongan manusia untuk menyembah tuhan merupakan suatu keniscayaan yang pasti. Mayoritas manusia, baik terus menerus maupun sesekali saja,