Multikulturalisme adalah sebuah persepsi ataupun cara pandang dan gaya hidup dalam
masyarakat, secara gagasan konstektual bahwa multikulturalisme ini menolak segala bentuk rasisme.
Oleh karena nya konsep multikulturalisme ialah mengafirmasi segala pluralitas, yakni tidak
membedakan agama, etnis, budaya, suku dan bahasa. Konsep dan realitas multikulturalisme di
dalam kehidupan masyarakat global yang sekarang ialah sangat penting untuk menghadapi
perbedaan, prinsip dasar dan nilai yang terkandung dalam kehidupan keberagaman yang terbalut
dalam konsep multikulturalisme adalah prinsip keadilan, kesetaraan, keterbukaan dan pengakuan
terhadap keberagaman itu sendiri.
Menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural adalah proses
pendidikan yang komperhensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan ini
menentang bentuk rasisme dengan menerima serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa,
agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas
mereka dan guru-guru. Menurutnya pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum
dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interkasi yang dilakukan di antara para murid
dan guru dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar mengajar.1
Oleh sebab itu konsep multikulturalisme ini telah menjadi budaya dan living reality dari nenek
moyang dan kehidupan bangsa ini. Kita harus mengintegrasikan sebagai pondasi moral di kehidupan
yakni dalam pendidikan.
Di dalam pendidikan yang tidak mengedapakan pluralitas, akan berakibat
munculnya segala bentuk pertentangan ekstrem pemikiran dalam dunia pendidikan. Bagaimana
pada zaman dahulu tonggak pendidikan yang dibangun oleh para wali atau sunan di nusantara
adalah corak pola pendidikan pondok pesantren, yang pada dasarnya bahwa sejatinya ajaran Islam
adalah ajaran yang toleransi dan mengajarkan dasar pluralitas secara mendalam, baik dari aspek
sosial, budaya, ekonomi dan yang lainnya.
Di dalam pendidikan pondok pesantren pada zaman sekarang kita dituntut untuk menjadi
insan yang Ulul albab seperti yang tertera di dalam Al Quran Surah Ali Imran ayat 191. Bahwa kita
sejatinya menyeimbangkan antara dunia dan akhirat, bagaimana kita mengejar akhirat dan juga
bagaimana kita menerapkan bekal akhirat di dalam dunia, termasuk bekal bagaimana penerapan
prinsip asas dasar agama Islam yang toleransi dan saling menghargai.
Di dalam corak pola
pendidikan dan pola sosial yang diterapkan dalam dunia pesantren pada dasarnya, yang menjadi
rujukan pesantren-pesantren sekarang yang telah diperjuangkan oleh para para sunan di nusantara
ini mencerminkan, bahwa pondok pesantren telah mengakulturasikan antara pola pendidikan Islam
1 Sonia Nieto, Language, Culture and Teaching, (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002); hal . 29.
yang sejati dengan pola kehidupan sosial dan budaya, di mana pondok pesantren itu ada dan dimana
letak geografis pondok pesantren itu berdiri.
Pada dasarnya ketika pondok pesantren berdiri di suatu tempat yang memiliki corak sosial
budaya dalam Pengamalan aqidah, ibadah dan muamalah di dalam kehidupan pada daerah tersebut,
maka pondok pesantren itu menjadi catatan sejarah tersendiri dalam melewati dinamika kehidupan
sosial dan budaya yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu pesantren itu berdiri.
Mayoritas pondok pesantren itu lahir di berbagai tempat khusus di nusantara ini atau di negara kita,
bahwa pondok pesantren yang berhasil mengakulturasikan yang berhasil mengikuti dinamika
kehidupan sosial yang beragam, maka pondok pesantren itu akan bertahan dengan kuatnya
gempuran keberagaman dan memberikan corak atau warna tersendiri dalam perubahan sosial dan
kebudayaan yang baik.
Beberapa istilah yang mencerminkan ciri khas nilai-nilai yang mentradisi
dalam pondok pesantren yaitu keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan ukhuwah Islamiah.
Selain empat nilai yang terkenal ini, masih banyak nilai-nilai agama dalam pondok pesantren yang
membentuk kepribadian manusia berkualitas tinggi.2
Mengenai beberapa pondok pesantren yang berdiri di tanah majemuk di Sumatera Utara
sebagai miniatur bangsa Indonesia dan khususnya di kabupaten Langkat yang yang tidak bisa
dikatakan mayoritas atau tidak dalam kehidupan berbudaya, kemajemukan dari beberapa suku dan
budaya yang ada. Tepatnya di pondok pesantren Ulumul Quran yang setiap pesantren memiliki
corak khas dari pendidikan yang diutamakan di dalam menciptakan agent of excellent atau
pengkaderan dari santri-santri yang nantinya akan di hasilkan dari pondok pesantren itu, dan corak
utama pendidikan yang didapatkan dalam pondok pesantren Ulumul Quran Kecamatan Stabat
Kabupaten Langkat adalah bagaimana memiliki santri yang mempunyai pengetahuan teori serta
praktek dalam pemahaman dan pengetahuan secara mendalam pada Alquran dan menciptakan
hafizh dan Hafidzah, yang memiliki program tersendiri dan program terunggulkan di dalam
pesantren ini.
Bagaimana hasil dari beberapa santri pondok pesantren ulumul Quran yang mengalami proses
pendidikan di dalam pondok pesantren ulumul Quran tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya
pondok pesantren Ulumul Quran telah menjalankan secara proses pendidikan multikultural. Karena
pendidikan multikultural ini, seandainya kita melihat pesantren di beberapa wilayah di pulau Jawa,
Pesantren-pesantren besar seperti Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, pesantren yang ada di
2 Misbahul Munir, “Pesantren Kawah Candradimuka Pendidikan Multikultural”, dalam jurnal pendidikan Islam, VOL. I, No. 1
Juni 2009, hal. 5-6.
Mojokerto, pesantren yang ada di Jombang, pesantren yang ada di beberapa daerah Jawa timur
yang mungkin santrinya dari berbagai wilayah Indonesia ataupun mancanegara. Mereka mempunyai
ikatan-ikatan santri dari daerah tersebut, contohnya di dalam pondok pesantren Krapyak Yogyakarta
ada sebuah ikatan santri se-jawa timur yang disingkat insan sejati dan beberapa himpunan santri
Madura atau himsama. Di dalam corak multikultural bawah secara sosial para santri yang datang di
pondok pesantren tidak akan bisa meninggalkan semangat kedaerahan nya, dan bagaimana budaya
yang ada di dalam dirinya. Hal ini menumbuhkan seperti untuk kebersatuan lingkup terkecil dan
menyusul kepada keberhasilan kebersatuan lingkup terbesar dalam multikulturalisme, akan tetapi
hal yang seperti ini juga menjadi bomerang bagi para santri yang terlalu bersemangat dalam
mempertahankan semangat kedaerahannya, sehingga mereka lupa bahwa dari semangat
kedaerahan untuk menuju pada puncak keberhasilan kebersatuan secara universal. Dan hal ini tidak
terjadi di pondok pesantren Ulumul Quran walaupun ada santri yang berasal dari Malaysia dan dari
berbagai daerah di Indonesia, dari Aceh, Padang, Riau dan lain sebagainya. Pendidikan multikultural
ini bukan pendidikan yang tampak di dalam pola penerapan yang bisa kita lihat secara langsung.
Bahwa pendidikan multikulturalisme ini masuk ke dalam kurikulum pondok pesantren secara
tersirat dan di pondok pesantren Ulumul Quran memiliki sebuah asrama seperti ciri khas dari
pondok pesantren itu sendiri, dan bagaimana penempatan dalam sistem pola pendidikan yang tidak
memikirkan dari asal daerah, dari latar belakang, suku, aliran agama atau yang lainnya, untuk
penyusunan sistem penempatan santri dalam asrama. Dan pola pendidikan di pondok pesantren
Ulumul Quran yang mungkin dalam menepis aliran agama yang yang tidak bisa dinafikan, bahwa
para santri banyak menganut aliran agama seperti Muhammadiyah, Al Washliyah, Nahdlatul ulama
dan yang lainnya. Pendidikan pesantren terutama pendidikan formal yang teraplikasikan dalam
bangku sekolah selayaknya seperti pendidikan biasa, akan tetapi pendidikan multikultural di pondok
pesantren Ulumul Quran bagaimana pengamalan-pengamalan pendidikan dibagian non-formal yang
teraplikasikan dalam bentuk pembelajaran sore atau tanfidz serta pembelajaran malam mengaji
binnadhzar. Ketika santri-santri masih awal dalam memulai pendidiakn, mereka akan di satukan
pada santri yang lainnya, dan di bimbing oleh senior yang akan membimbing mereka.
Pola penerapan pendidikan multikulturalisme di dalam pondok pesantren ulumul Quran
terletak pada pengamalan kegiatan santri pada shalat berjamaah beberapa salat wajib yang
diwajibkan untuk memakai baju putih dan kopiah putih, aturan tersebut dibuat oleh Almarhum
Almaghfurllah Allahu Yarham Ayahanda Al Mukarom Al-ustadz Buya kyai Haji Rustam Effendi Al
Hafidz, semoga Allah memberikan rahmat ampunan dan tempat terbaik di sisi Allah SWT Amin ya
robbal alamin. Bagaimana beliau menerapkan sistem yang sederhana ini, tapi efek dari sistem ini kita
tidak membedakan style fashion yang dipakai oleh beberapa santri dari berbagai daerah masingmasing, contohnya kita mengenal topi atau peci Aceh dan peci dari berbagai daerah seperti Padang
dan Riau ataupun yang lainnya. Akan tetapi ketika shalat berjamaah, maka tidak ada terlihat lagi
identitas dari corak daerah mereka, karena dari pola pemikiran aturan tersebut bahwa kita
beribadah kepada Allah tak membedakan suku, ras, bahasa dan aliran agama apapun yang
mempunyai ciri khas tersendiri dalam tampilan atau pengamalan ibadah. Ciri khas yang tepat
dikatakan pendidikan multikultural dalam pendidikan nonformal yang ada di pondok pesantren
Ulumul Quran yang paling tepat dalam mengatur pengakulturasian dan bentuk afirmasi dari
pendidikan multikultural yang bahkan berhasil diterapkan adalah pengamalan aturan shalat
berjamaah ini.
Komentar
Posting Komentar